Search This Blog

SYUBHAT GODAAN




SYUBHAT GODAAN
SYUBHAT GODAAN
[Oleh: Fajar el Shahwah]


DARI sinilah semua bermula. Fitrah bersimpati yang ia rasakan adalah sisi kemanusiaannya yang wajar. Ia hadir secara perlahan bersama dengan rangkai amal yang mengisi hari-hari padat aktivitas dakwahnya. Ia hadir secara nyata bersama interaksi sucinya yang selalu terjaga. Ia tentu paling tahu batasan, saat mana ia harus bersikap dan menempatkan diri. Kematangannya menjadikan hampir tidak menyisakan keraguan bagi orang lain untuk tidak memberikan ketsiqahan penuh kepadanya, bahwa ia orang yang pasti terjaga.

Tapi dalam rangkai amal suci itu, justru benih-benih perasaan fitrah kemanusiaan ini mulai tumbuh bersemi. Sesuatu yang pada awalnya sekedar bermula dari perasaan hormat dan segan. Selanjutnya; ketika setiap gagasan yang muncul, lisan yang terjaga, kiprah yang nyata dalam kerja-kerja besar yang optimal, kepemimpinan yang kharismatik dan pada saat yang sama menjadi jundi yang selalu terdepan, bahkan dalam setiap diam dan kesederhanaannya, sorot mata, tunduk pandang, dan aura kepribadiannya; semua adalah cermin kapasitas fikriyah yang mengejutkan, kapasitas maknawiyah yang memesonakan, juga keteladanan yang menggelorakan, maka seperti tiada lagi yang tersisa. Sempurna! Semua itu telah begitu menggoda. Semua itu telah melahirkan rasa simpati yang dalam. 

Tiada hinggap sedikitpun keinginan untuk memberikan perhatian secara lebih. Pengetahuan utuh yang hadir dalam bingkai pikirnya itu berjalan wajar, datar, dan apa adanya. Semua yang ia tahu tentang sosoknya, hanya karena semua telah berada di hadapannya. Hanya karena keniscayaan interaksi dakwahnya. Hanya karena konsekuensi amanah yang diembannya, yang bahkan --demi kemaslahatan ummat-- ia tak dapat menghindar darinya. Tapi semua itu seolah cukup sudah memberi deskripsi yang utuh dan akhirnya secara tidak sadar; melahirkan kekaguman yang semakin bersemi.

Ia sangat tahu bahwa itulah godaannya. Maka ia pun menyimpannya dalam. Sangat dalam di jauh lubuk hatinya. Dan ia tetap beraktivitas sebagaimana adanya. Dan ia tetap produktif dalam amal-amal dakwahnya, dalam keterjagaan yang selalu dikuatkan. 

Tapi perasaan itu ternyata masih tersisa. Bukan tersisa, tapi bahkan masih ada dan utuh terjaga. Tapi tetap dalam di jauh lubuk hatinya. Perasaan itu pun akhirnya bermetamorfosa. Dan pada saatnya ia kemudian mengkristal. Ia menjadi sebuah keinginan dan harapan. Tapi masih suci terjaga. Tapi masih sesuai dengan tata nilai, norma dan etika. Tiada pelanggaran atas nama jamaah, apalagi syariah. Ia selalu berusaha memelihara, agar semua yang terjadi tidak menjebaknya jatuh tersandung. Ia berusaha agar itu semua bukan sebab amal dakwahnya terhempas, dan cita-cita kepahlawanannya kandas. Kemudian menyingkirkannya dari barisan kafilah.

Maka semua berjalan apa adanya, hari-hari berlalu dalam pertahanan dan perlawanan.  Ia sangat sadar. Dan bahkan sangat yakin bahwa ia masih berjalan pada koridor yang lurus. Dalam penguatan keyakinan itulah, ia secara tidak sadar telah membangun keinginan, memupuk harapan. Dan ia selalu meyakinkan dirinya akan kebenaran setiap pilihan sikapnya, akan tiadanya pelanggaran pada setiap langkahnya. Karena ia selalu memadukan keniscayaan fitrah kemanusiaannya itu dalam wilayah-wilayah yang terjaga. Ada syubhat-syubhat tipis yang kemudian menyelinap dalam ruang-ruang akal dan hatinya. Dan ia tidak sadar, sama sekali tidak sadar bahwa ia telah membangun mimpi-mimpi. Maka ia benar-benar telah terjebak dalam taman indah bunga hatinya, dalam dunia barunya yang berwarna-warna.

Tersentak kaget, ketika hari itu takdir tidak sejalan dengan keinginan-keinginan yang telah dibangunnya, dengan harapan-harapan yang telah dipupuknya, dengan mimpi-mimpi di taman indah bunga hatinya. Berita itu sungguh mengguncang. Sehingga keinginan, harapan, dan mimpi-mimpi yang ia pelihara selama ini seolah terhempas kandas. Ada daya paksa yang menggiringnya kuat dan cepat ke wilayah kelabilan yang menggelisahkan. Sungguh ia guncang. Dan guncangan itu begitu menghebat tak terkendali. Bahkan hampir semua kekuatan yang dimilikinya saat ini sama sekali tak mempunyai daya. 

Memang ia diam. Dan masih begitu tenang. Tapi kemampuan diam itulah yang barangkali tersisa. Tapi ketenangan itulah peredam yang masih dimilikinya. Kemampuan pengendali yang menghijab wilayah perasaan dengan perbuatannya, kemampuan penetrasi yang mampu memberikan keterjagaan pada riak-riak hebat yang menggelombanginya. Seandainya pintu itu sedikit saja terbuka, mungkin gelombang tsunami sudah meluluhlantakkan; bahkan jauh wilayah di luar kekuasaannya.

Rasa simpati yang terpendam dalam di jauh lubuk hatinya, tanpa terungkap kepermukaan, tanpa tersentuh oleh keterusterangan, tanpa diperagakan oleh olah tubuh dan lisan. Yang ia berada di wilayah-wilayah sangat terjaga --untuk melindungi kesuciannya, juga menghindari kemungkinan lalainya. Yang ia telah menjelma menjadi taman indah di hatinya. Sekali lagi, ia adalah fitrah kemanusiaan yang niscaya adanya, yang sah dan tiada tersalahkan. Tapi lihatlah bahwa ternyata ada batas yang terlalu tipis antara kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada makhluk-Nya. Ada syubhat-syubhat yang menyulitkan pembedaan bahwa Allah di atas segalanya, apatah lagi sekadar salah satu makhluknya. Perbedaan itu sungguh jauh mencolok, tapi membedakan itu, terkadang menjadi kabur dan absurd. Ketika ia tergiring pada jurang inkhirafat pemikiran yang tiada disadarinya, sehingga turun ke wilayah sikap, tindakan, dan perilakunya, itu semua terjadi dengan sangat halus dan tiada terasa. Dan seperti inilah di antara cara penjerumusannya, dan seperti inilah contoh godaan-godaannya, bahkan sekaligus sebagai bentuk alat ujinya. 

Maka terguncang pada kali pertama, mungkin masih berada dalam wilayah kemanusiaan yang wajar. Tapi ketika ia masih dalam keterguncangan yang berlarut, mengikuti luapan emosi dan perasaan, mengharu biru dalam pedih-perih --yang dalam kondisi tertentu mampu membutakan hati dan akal pikiran-- inilah petunjuk akan rapuhnya keyakinan. Inilah tanda kemenangan syahwat atas iman. 

Jika engkau menemukan situasi seperti ini; berhentilah sejenak dari perjalananmu. Bersihkan hati dan tata kembali irama langkahmu... Agar harmoni iman tetap membersamaimu, agar Allah tetap sayang kepadamu.


SHARE

TATSQIF on LINE

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: