![]() |
Sumber Ilustrasi : www.islampos.com |
Kepahaman (Al Fahmu) Memberikan Jalan Terang Kehidupan |
Tak ada perintah meminta tambahan seperti perintah meminta tambahan ilmu. Bahkan perintah itu diarahkan kepada Rasulullah Saw. Dan katakanlah : Ya Rabbi, tambahkan daku ilmu. (QS.20:114). Bagi Ashabul Kahfi, sesudah iman tambahan nikmat berupa Huda (petunjuk) itu pada hakikatnya juga ilmu. Kecuali efek kesombongan yang sebenarnya bukan anak kandung ilmu, seluruh dampak ilmu adalah kebajikan. Bukanpun ketika seseorang terlanjur salah jalan, ilmu mengambil peran pelurus. Ia selalu jujur asal si empuntya juga jujur. “Lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu dengan motivasi yang salah, tetapi sang ilmu takk pernah mau dituntut kecuali karena Allah, “Kata Al Ghazali. Tentu saja seseorang tidak harus mengumpulkan ilmu sebagai kolektor tanpa komitmen amal, karena hal seperti ini bisa dilakukan oleh hard disk, flash disk, pita perekam atau mata pensil. Bagaimana ilmu menjadi serangkaian informasi yang mengantarkan penuntutnya kepada kearifan, itulah soal besar yang menjadi batu ujian para ulama. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya yaitu ulama.” (Qs:35:28) DOWNLOAD APLIKASI ANDROID TATSQIF Dengan melihat hubungan dan kedudukan ilmu, nyatalah yang dimaksud dengan ilmu dan kemuliaan adalah ilmu yang bermanfaat. Karena itulah, maka seluruh kata ilmu (dalam Al Quran dan hadits) adalah ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’) menurut Ibnu Athailah. Selebihnya ia menjadi beban dan tanggungan penyesalan, karena berhenti pada jidal (debat), mubahah (kebanggaan) dan alat menarik keuntungan dunia. Ilmu selalu membuat si empunya semakin rendah hati, sensitive dan sungguh-sungguh. Pemelihara Tradisi Keilmuan Betapapun hebatnya perusakan yang dilakukan para pasukan Tartar terhadap kitab-kitab para ulama, itu menjadi tak berarti dibanding dengan apa yang berkembang di dunia keilmuan. Darah daging ilmu telah membekas dihati para ulama. Seorang imam pergi musafir berbulan-bulan hanya untuk mencari satu hadits singkat. Seorang ulama produktif menulis di penghujung malam dan esoknya juru salin baru dapat menyelesaikan transkripnya dalam waktu 10 jam. Tradisi keilmuan juga menyangkut etika perggaulan. Hampir tidak ditemukan ulama yang datang ke pintu sultan kecuali ia penjilat atau seorang yang sudah sampai pada tingkat ma’rifat yang tinggi. Seorang alim yang zuhud menghindari sultan dan orang-orang kayak arena takut fitnah dunia, sementara ulama yang arif billah (mengenal Allah) datang kepada raja, untuk menasehati dan menginggatkan mereka. Harun Al Rasyid meminta Imam Malik untuk menziarahinya, ia berkata “Agar anak—anak kami dapat ikut mendengarkan kitab Al Muwwatha,” jelasnya. Dengan pasti Imam Malik menjawab “Semoga Allah menjayakan Amirul Mukminin. Ilmu ini datang dari lingkungan kalian (Baitul Nubuwah). Jika kalian merendahhkannya ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.” Ketika Sultan menyuruh keduua puteranya datang ke masjid untuk mengaji bersama rakyat, Imam Malik mengatakan, “dengan syarat mereka tidak booleh melangkahi bahu jamaah dann duduk di posisi mana saja yang terbuka untuk mereka”. Sebagai Imam pembela sunah yang sangat konsisten melaksanakannya, IImam Syafi’i sangat kokoh berargumentasi. Kepiawaiannya berdiskusi dilandasi keikhlasannya yang luar biasa. “Setiap kali aku berdebat dengan seseorang, selalu kuberharap Allah mengalirkan kebenaran dari muluutnya” begitu ujar Imam Syafi’i . Ilmu antara Tahu dan Mau Apa kabar penghafal sekian banyak ayat, pelahap sekian banyak kitab dan pembahas sekian qadhaya yang belum beranjak dari tataran tahu untuk bersikap menuju mau? Siapakah engkau, wahai pengendara yang menerobos larangan masuk kawasan berbahaya? Siapa engkau yang diminta memilih madu dan racun, kurma dan bara, lalu berharap dengan sadar melahap bara dan mencampakkan kurma, menengggak racun dan mencampakkan madu? Sipakah gerangan engkau yang yang tiba-tiba menemukan diri berada di sebuah tempatyang nyaman dan membuatmu tak pernah berpikir untuk pergi, karena tuan rumah dimana engkau tinggal tak pernah menagih uang rekening listrik, buah dan sayuran, kolam renang dan landasan pesawat, menu dan lahan berburu,. Kau menikmatinya puluhan tahun, namun tak pernah bertanya : Siapa pemilik rumah ini? Apa kewajibanmu di sana? Kemana lagi engkau sesudah ini? Engkau yang telah menghabiskan seluruh usia untuk menjelajah ilmu yang mmemberi tahu berapa milyar usia dunia , bagaimana akurasi, peredaran bumi, matahari dan galaksi, ketepatan ekosistem dan karakter benda, lalu menuduh wahyu itu kuno, karena telah melewati masa seribu empat ratus tahun? Tak punyakah engkau segenggam rasa malu untuk pergi mencari planet baru yang lebih muda? Seandainya engkau jumpai planet yang lebih mudah sadarkah bahwa itu bukan ciptaan mu? Siapakah engkau wahai penjaga kebun anggur yang disuruh menghantarkan untaian anggur lalu pergi dengan lagak sepperti pemilik kebun dan tak mau kembali lagi, karena si pemabuk telah mempesonamu dengan kepandaian mengubah anggur menjadi arak? Engkau tak punya secuil kearifan ahli ilmu. Ilmu dan Kelapangan Wawasan Berapa banyak pedang diperlukan untuk mengembalikan kaum Khawarij yang memecah belah jamaah (Syaqal Asha)? Kaum ini sesat bukan karena tidak shalat, shaum atau jihad. Keras telapak tangan mereka menghitam dahi mereka lantaran sujud yang lama. Kurus badan mereka lantaran puasa yang intensif. Saat pedang merobek perut dan memburai usus mereka, melompat kalimat yang menakjubkan “ku bersegara kepada Mu ya Rabbi agar Engkau Ridha”. (QS.20:84). Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya tentang sifat mereka, beliau menjawab, ”Kalian akan remehkan shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka dan shiyam kalian dibandingkan dengan shiyam mereka.” Kedalaman dan keluasan ilmu mereka tak menggenapi kehidupan intelektual mereka. Tapi Ibnu Abbas ra. cukup mengunakan ketajaman argumentasi mereka untuk mengembalikan 1/3 dari sekian puluh ribu kaum pemberontak Khawarij. Oleh karena itulah kaum Khawarij – dan aliraan nyeleneh lainnya sepanjang zaman - selalu menghindari para fuqaha yang mereka anggap selalu mematikan aspirasi dan membenturkan mereka dengan tanda tanya besar yang musykil. Belum terjadi apa-apa ketika sesepuh kaum Nabi Nuh as mengusulkan agar dibangun tugu-tugu peringatan di tempat biasanya duduk tokoh-tokoh terhormat mereka, Wadda, Suwa, Yauq, Yaghuts dan Nasr. Barulah setelah generasi ini wafat dan ilmu dan kepahaman telah dilupakan orang, maka tugu-tugu inipun mulai disembah. Suatu hari Abu Hasan Asy Syadili kedatangan rombongan tamu, para ulama dan fuqaha. Mereka sangat tersinggung ketika ia bertanya, “Apakah kalian yang mendirikan shalat?” Mereka menjawab, ”Mungkinkah fuqaha seperti kami tidak shalat?”. Dengan tenang dilayangkannya pertanyaan yang membuat para fuqaha dan para ulama itu tersipu, “ Apakah kalian orang yang bebas gelisah, bila di timpa musibah, tidak putus asa, dan bila mendapat nikmat tidak jadi bakhil?”. Diatara karunia besar datangnya Rasulullah penutup, adalah mata dunia dibuka dan era akal sehat dimuali, bebas dari mitos-mitos dan manipulasi orang-orang pintar (baca : licik) atas rakyat yang lugu dan setia. Inlah tonggak peralihan dari pengabdian manusia kepada sesama manusia, menuju pengabdian hanya kepada Allah saja. Mungkin, karena kekhasan Islam dalam menghargai ilmu dan akal sehat, secara khusus Syaikh Alawi Al Maliki membuka Simthud Durar (Untaian Muutiara), antologi sanjungan kepada Rasulullah SAW dengan kekhususan ini : Segala puji bagi Allah Yang telah melebihkan kita Dengan Musthafa Nabi pilihan Yang mengagungkan pendidikan |
KH. Rahmat Abdullah |